The Effect of Moringa Root Teratogenic (Moringa oleifera Lamk.) implication the Mouse Fetus (Mus musculus L.) Swiss Webster Strain

The Effect of Moringa Root Teratogenic (Moringa oleifera Lamk.) implication the Mouse Fetus (Mus musculus L.) Swiss Webster Strain

Oleh
Novita Sari, Saleh Hidayat, Sri Wardhani
Vsary@rocketmail.com, saleh_UMP@yahoo.com dan s_wardhaniump@yahoo.com
FKIP Biologi Universitas Muhammadiyah Palembang

Abstract
Moringa (Moringa oleifera Lamk.) has many benefits, but one of the part of moringa plant has a teratogenic effect, it is on the root. It needs evidence to test the level of moringa root teratogenic toward the organism that is sensitive to the teratogen material. In this research, the organism that used was the mouse (Mus musculus L.). The problems in this research does the root of moringa (Moringa oleifera Lamk.) affect the mouse fetus (Mus musculus L.) The method that used in this research was the experiment method with Completely Randomized Design (CRD) 4 treatments and 6 replication. The results showed extracting of moringa root (Moringa oleifera L.) in various concentrations (10%, 20% and 30%) affect the mouse fetus (Mus musculus L.) significantly, they are hemorrhage and the hunched body. It saw from the results of variance analysis (Anava) fetus that the significance of hemorrhage 0.015 > α 0.05 and for significance of hunched body 0.00 2 > α 0.05. So it can be concluded the extract of moringa root affects toward the mouse fetus significantly.

Keywords: teratogenic, the concentration of extract, moringa root, mouse

ABSTRAK
Kelor (Moringa oleifera Lamk.) mempunyai banyak manfaat, tetapi salah satu bagian tanaman kelor mempunyai efek teratogenik yaitu pada akarnya. Perlu dilakukan pembuktian untuk menguji tingkat teratogenik akar kelor terhadap organisme yang sensitif dengan material teratogen. Pada penelitian ini organisme yang digunakan adalah mencit (Mus musculus L.). Masalah dalam penelitian ini apakah akar kelor (Moringa oleifera Lamk.) berpengaruh terhadap fetus mencit (Mus musculus). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 6 ulangan. Hasil penelitian membuktikan pemberian ekstrak akar kelor (Moringa oleifera L.) dalam berbagai konsentrasi (10%, 20% dan 30%) berpengaruh nyata terhadap fetus mencit (Mus musculus L.) yaitu hemoragi dan tubuh bongkok. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis varian (Anava) fetus yang hemoragi signifikansinya 0,015 > α 0,05 dan untuk tubuh bongkok signifikansinya 0,002 > α 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak akar kelor dapat berpengaruh nyata terhadap fetus mencit.

Kata Kunci: Teratogenik, konsentrasi ekstrak, akar kelor, mencit

Kelor merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan Benua Afrika dan Asia Barat. Semua bagian kelor memiliki manfaat seperti, akar, batang, daun, dan bijinya (Widjiadmoko, 2011:19). Akar tanaman kelor mengandung antibiotik aktif yaitu pterygospermin, sedangkan kulit akar mengandung dua alkaloid (total alkaloid 0,1%)
yaitu moringine yang identik dengan benzil amina dan moringinin kelompok simpatomimetik basa (Fuglie, 1999 dalam Paul, 2012 ).
Efek bahan aktif dari akar kelor dapat diketahui dengan melakukan uji teratogenik. Tepatnya, adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan/digunakan selama masa organogenesis suatu hewan yang sedang mengalami proses kehamilan. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung oleh hewan hamil, dan apakah cacat tersebut berkerabat dengan dosis obat yang diberikan (Shinta, 2009).
Hewan uji yang biasa digunakan untuk mengetahui efek teratogenik adalah mencit (Mus musculus L.), ada beberapa alasan sehingga mencit sering digunakan sebagai hewan uji, antara lain angka konversi dosis mencit ke manusia mudah untuk diterapkan (Smith & Mangkowidjojo, 1988 dalam Handayani, 2010). Mencit juga tidak sulit dalam hal pemberian pakan, mudah dikawinkan, dan merupakan hewan mammalia yang memiliki kesamaan fungsi fisiologi dengan manusia (Rugh, 1968 dalam Handayani, 2010).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Efek Teratogenik Akar Tanaman Kelor (Moringa oleifera L.) terhadap Fetus Mencit (Mus musculus L.) Galur Swiss Webster.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan. Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu variabel bebas adalah efek teraatogenik akar kelor. Sedangkan variabel terikatnya fetus mencit. Dalam penelitian ini yang merupakan populasi adalah tumbuhan kelor (Moringa oleifera Lamk.) yang digunakan tingginya ± 60 cm, dan 24 ekor mencit betina dewasa (umur 10-12 minggu) dengan berat badan 25-30 gram.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak plastik berukuran 30 x 25 x 10 cm yang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai kandang mencit, sekam, botol minum mencit, spuit 1 ml, syringe gavage, gelas ukur, gelas kimia, gunting bedah, sarung tangan, rotary evaporator, blender, labu destilasi, dan timbangan analitik (Ohauss). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina galur Swiss Webster, akar tanaman kelor, akuades, sekam atau serbuk kayu, pakan berupa pelet ikan.
Akar kelor yang digunakan sebanyak 9000 gram dan ditambahakan 2 liter akuades. Akar kelor yang telah dihaluskan ditimbang sesuai perlakuan lalu dicampurkan dengan akuades sesuai dengan perlakuan masing-masing. Kemudian akar kelor direndam dengan akuades ± 12 jam, setelah direndam diangkat/dipisahkan air rendaman dengan ampas dengan menggunakan saringan, rendaman menggunakan labu destilasi, pengekstrakan berlangsung ± 24 jam yaitu diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 40ºC untuk menghilangkan pelarut sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh berwarna merah kecoklatan sebanyak 256 ml. Ekstrak ini dapat disimpan di dalam botol pada suhu 4ºC sampai digunakan.
Mencit jantan dan betina yang sedang estrus disatukan dalam wadah selama 1 malam. Penyatuan dilakukan pukul 17.00 WIB. Keesokan paginya mencit betina diperiksa untuk mengetahui adanya sumbat vagina. Jika terdapat sumbat vagina, maka dihitung sebagai hari kehamilan ke-0 (Waluyo, 1995).
Perlakuan diberikan secara oral/gavage agar semua larutan dapat masuk ke lambung sesuai dengan dosis yang diberikan. Volume larutan ekstrak akar kelor yang diberikan adalah antara 0,29-0,4 ml karena berat badan mencit yang digunakan adalah 29-40 gram (Waluyo, 1995). Perlakuan diberikan dari hari ke-6 mencit positif hamil sampai hari ke-18 kehamilan. Mula-mula mencit dipuasakan selama3-4 jam sebelum perlakuan, lalu kemudian diberi perlakuan ekstrak akar kelor, sekali sahari mulai pada hari ke-6 samapai hari ke-13 sesuai dengan Dosis masing-masing kelompok yaitu 10%, 20%, dan 30% setelah itu mencit dibiarkan hingga hari ke-18 (Nawir, 2008).
Pada hari ke-18 hewan uji dibedah untuk diambil fetusnya. Fetus baru dikeluarkan dengan cara bedah caesar, hewan uji tidak dibiarkan sampai melahirkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah induk mencit memakan fetus yang cacat, mati, atau hampir mati sehingga dapat berpengaruh pada penghitungan data (Hutahean, 2002 dalam Erniati, 2009). Sebelum dibedah mencit ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat akhirnya, kemudian dieutanasi dengan cara dislokasi serviks (Santoso, 2004 dalam Erniati, 2009).
Pada hari pertama pemberian perlakuan dimulai, mencit yang diberi perlakuan adalah sebanyak 4 ekor, masing-masing 1 ekor dari setiap perlakuan (P0, P1, P2, P3) dan dilanjutkan pada hari ke-2, 3, 4, 5 dan 6 secara berturut-turut. Pembedahan dilakukan secara bertahap setelah masing-masing mencit mendapatkan perlakuan selama 18 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk membuktikan adanya perbedaan pada penelitian efek teratogenik akar tanaman kelor terhadap fetus mencit dilakukan perhitungan terhadap hasil analisis varian (Anava) fetus hidup dan fetus mati mencit, berat dan panjang badan fetus, dan morfologi kelainan fetus.
Kelompok perlakuan dengan ekstrak akar kelor menunjukkan adanya penurunan jumlah fetus hidup dan fetus mati apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akar kelor yang diberikan pada masa organogenesis dapat menyebabkan penurunan jumlah fetus hidup dan menunjukkan adanya pengaruh jumlah kematian fetus meskipun tidak signifikan. Penurunan fetus hidup terjadi disebabkan oleh banyaknya jumlah fetus mati hal ini diduga karena ekstrak akar kelor dapat bersifat embriotoksik.

Gambar 1 Histogram Rata-rata Fetus Hidup dan Fetus Mati Mencit (Mus musculus L.) Galur Swiss Webster (Sumber: Pengolahan Data Berdasarkan Program Microsoft Excel 2007)

Akar kelor merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi tubuh. Akar kelor mengandung fitokimia berupa moringin dan moringinin yang bersifat toksik (Fuglie, 1999 dalam Fahey, 2005). Pemberian ekstrak akar kelor pada induk mencit yang dilakukan pada masa organogenesis (6-13 kebuntingan), yaitu masa ketika sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi menyebabkan ketidakmampuan induk mencit menetralisir dan mendetoksifikasi senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh. Fetus yang mati terjadi karena sel-sel yang mengalami kerusakan akibat pengaruh paparan oleh ekstrak akar kelor tidak dapat mengalami recovery, karena ketidakmampuan embrio atau fetus untuk mengadakan perbaikan kembali pada sel-selnya yang rusak mempengaruhi tingkat kemampuan fetus untuk bertahan hidup. Kepekaan masing-masing individu dalam merespon zat asing juga mempengaruhi kemampuan fetus untuk bertahan hidup (Lina, 2008).
a.

b.
Gambar 2 a. Fetus Hidup dan b. Fetus Mati Mencit (Mus musculus L.)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012)

Kelompok perlakuan dengan ekstrak akar kelor menunjukkan adanya penurunan berat badan fetus dan panjang badan fetus apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akar kelor yang diberikan pada masa organogenesis dapat menurunkan panjang badan dan berat badan fetusfetus meskipun tidak signifikan.

Gambar 3 Histogram Rata-rata Berat Badan dan Panjang Badan Fetus Mencit (Mus musculus L. ) Galur Swiss Webster yang dipengaruhi Ekstrak Akar Kelor (M. oleifera L.)

Penurunan panjang badan fetus adalah bentuk teringan efek agensia teratogenik dan merupakan parameter yang sensitif. Berkurangnya panjang fetus adalah indikasi adanya hambatan pertumbuhan fetus. Hambatan pertumbuhan terjadi bila agen mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, dan pengurangan laju biosintesis berkaitan dengan hambatan sintesis asam nukleat, protein, atau mukopolisakarida (Wilson, 1973 dalam Setyawati, 2009). Beberapa agen teratogen juga dapat mengakibatkan kelainan visceral maupun skeletal tanpa menunjukkan adanya kelainan morfologi eksternal (Santoso, 2006 dalam Setyawati, 2009).

Gambar 4 Pengukuran Panjang dan Penimbangan Fetus Mencit (Mus musculus L.)

Penurunan panjang badan fetus adalah bentuk teringan efek agensia teratogenik dan merupakan parameter yang sensitif. Berkurangnya panjang fetus adalah indikasi adanya hambatan pertumbuhan fetus. Hambatan pertumbuhan terjadi bila agen mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, dan pengurangan laju biosintesis berkaitan dengan hambatan sintesis asam nukleat, protein, atau mukopolisakarida (Wilson, 1973 dalam Setyawati, 2009). Beberapa agen teratogen juga dapat mengakibatkan kelainan visceral maupun skeletal tanpa menunjukkan adanya kelainan morfologi eksternal (Santoso, 2006 dalam Setyawati, 2009).
Hasil penelitian efek teratogenik akar tanaman kelor terhadap kelainan morfologi fetus mencit setelah diberi 4 perlakuan dan 6 ulangan, terdapat kelainan tubuh berupa kelainan hemoragi, hematoma, tubuh kerdil, tubuh bongkok, dan kelainan kulit transparan Histogram efek teratogenik akar tanaman kelor terhadap kelainan morfologi fetus adalah sebagai berikut.

Gambar 5 Histogram Rata-rata Kelainan Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus) Galur Swiss Webster yang dipengaruhi Ekstrak Akar Kelor (M. oleifera L.)
Hemoragi (perdarahan bawah kulit) yang teramati bervariasi baik besar, jumlah maupun letaknya. Perdarahan dijumpai di daerah hidung, kaki depan ekor dan kaki belakang. Banyaknya perdarahan pada satu ekor fetus dapat lebih dari satu tempat (Gambar 6). Menurut Price & Wilson (1984), dalam Erniati, 2009 hemoragi adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler dan disertai penimbunan di dalam ruangan tubuh atau di dalam jaringan tubuh.
a. b. c. d. e.

Gambar 6 Kelaianan Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus L.)
a. Hematoma b. Tubuh Kerdil c. Tubuh Bongkok d. Hemarogi f. Kulit Transparan
Sumber: (Dokumentasi Pribadi, 2012)

Kelompok perlakuan dengan ekstrak akar kelor menunjukkan adanya kelainan hematoma fetus apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akar kelor yang diberikan pada masa organogenesis dapat menyebabkan kelainan hematoma fetus meskipun tidak signifikan. Pada penelitian ini juga ditemukan fetus yang mengalami hematoma (Gambar 6). Istilah hematoma menggambarkan darah yang telah menggumpal sedangkan hemoragi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perdarahan yang aktif.
Kelainan tubuh kerdil ditemukan pada semua kelompok perlakuan dengan dosis 10%, 20% dan 30%. Perbandingan morfologi tubuh kerdil dengan tubuh normal dapat dilihat pada Gambar 6. Panjang badan fetus normal menurut Kaufman (1992) pada usia kehamilan 17 hari rata-rata 19,31 mm dan pada usia kehamilan 18 hari panjangnya 20-23 mm. Fetus dengan kelainan tubuh kerdil pada penelitian ini adalah fetus dengan panjang badan kurang dari 19 mm. Menurut Wilson (1973) dan Herbold (1985) suatu agen dapat mempengaruhi prolifersi sel, interaksi sel atau biosintesis yang berhubungan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein dan mukopolisakarida sehingga terjadi kelambatan pertumbuhan. Alkaloid kemungkinan kemungkinan juga dapat menghambat ekskresi hormon pertumbuhan sehingga menyebabkan pertumbuhan tulang menjadi terhambat yang menimbulkan kelainan berupa tubuh kerdil.
Abnormalitas berupa tubuh bongkok kemungkinan disebabkan oleh kelainan bentuk tulang belakang atau vertebrae. Kelainan ini dapat ditemukan pada semua kelompok perlakuan kecuali pada kelompok kontrol. Kelainan ini juga dapat disebabkan oleh adanya tekanan mekanik yang berupa kontraksi otot polos uterus sehingga arah pertumbuhan berubah.
Kelainan pada fetus berupa kulit pucat dan transparan kemungkinan disebabkan oleh pembentukan kulit yang tidak sempurna karena sel-sel penyusun jaringan kulit terganggu oleh adanya senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak akar kelor sehingga proses pembelahan dan diferensiasi sel-sel tersebut terganggu. Ekawati (2002) dalam Lina (2008) menyatakan bahwa radiasi dan senyawa kimia dapat mempengaruhi lapisan-lapisan sel yang sedang berdiferensiasi dan selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan pembentukan sistem tubuh. Protein antitumor yang terdapat dalam ekstrak akar kelor dapat menghambat proses pembelahan dan diferensiasi sel-sel kulit sehingga pembentukan kulit menjadi tidak sempurna dan kulit menjadi pucat transparan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian ekstrak akar kelor (Moringa oleifera L.) dalam berbagai konsentrasi (10%, 20% dan 30%) berpengaruh nyata terhadap fetus mencit (Mus musculus L.) yaitu hemoragi dan tubuh bongkok. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis varian (Anava) fetus yang hemarogi signifkansinya 0,015 > α 0,05 dan untuk tubuh bongkok signifikansinya 0,002 > α 0,05. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata terhadap fetus mencit yaitu jumlah fetus hidup dan fetus mati, berat dan panjang badan, kelainan morfologi berupa hematoma, tubuh kerdil, dan kulit transparan.

Saran
Kepada peneliti lain yang hendak melakukan penelitian sejenis disarankan untuk menurunkan konsentrasi ekstrak akar kelor untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak akar kelor yang aman untuk digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Erniati, Y. 2009. Efek Teratogenik Ekstrak Air Daun Talok (Muntingia calabura L.) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Fetus Mencit (Mus musculus L.). Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Fahey. J.W. 2005. Moringa oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1. Trees for Life Journal. (Online).
(http://www.TFLJournal.org/article.php/20051201124931586, diakses tanggal 3 April 2012).

Handayani, A. 2010. Efek Daun Pacar Air (Impatiens balsamina L.) terhadap Penurunn Inflamasi pada Mencit (Mus musculus) Swiss Webster Jantan. Skripsi tidak diterbitkan. Palembang: Program Sarjana FMIPA Universitas Sriwijaya Indralaya Palembang.

Paul. 2012. The Effect of Methanolic Extract of Moringa oleifera Lam Roots on the Histology of Kidney and Liver of Guinea Pigs.(Online).
(http://www.maxwellsci.com/print/ajms/v4-47-54.pdf, diakses 3 April 2012).
Rugh, Robert. 1967. The Mouse Its Reproduction and Development. Minneapolis : Burgess Publishing Company.

Setyawati. I. 2009. Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus L.) setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Jurnal Biologi XIII (2) : 41 – 44. Bali: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Shinta. 2009. Teratogenik Mencit. Jurnal teratologi. (Online).
(shintabits09_files, diakses tanggal 3 Januari 2012).

Waluyo. 1995. “Pengaruh Plumbum terhadap Osifikasi Rangka Mencit (Mus musculus) dan Sumbangannya pada Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Umum”. Skripsi. Palembang : Universitas Sriwijaya.

Widjiatmoko, B. 2011. Kelor Tanaman Super Kaya Manfaat. Jakarta: Karya Kata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *